BAWA KARAENG
Bawakaraeng, secara bahasa, berarti mulut tuhan. Diambil dari bahasa Makassar bawa artinya mulut, karaeng artinya tuhan. Siapa yang memberikan nama dan apa latar belakangnya, penulis tidak mendapatkan data tentang itu. Yang jelas, gunung Bawakaraeng bukanlah mulut tuhan dalam arti yang sebenarnya.
Bawakaraeng terdiri dari bukit-bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.
Mereka yang Mati
Pada 1980-an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan penyebabnya karena patah hati.
Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya anker, seanker kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang; daunnya habis ‘tak tersisa. Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.
Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu. Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah di pohon itu: tiba-tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah! Penulis sendiri tidak terlalu percaya cerita tersebut.
Beberapa pendaki juga mati di Bawakaraeng. Badai, suhu dingin, kelaparan, adalah sebagian dari penyebabnya. Pusara yang terpasang menjadi penanda sejarah mereka. Paling terakhir, matinya dua mahasiswa Geologi Universitas hasanuddin, Awy dan Iccank, di Pos 5 karena badai. Penulis hanya mendapati pusara Awy.
Longsor yang Menimbun
Pada 2004 silam, longsor terjadi di salah satu bukit Bawakaraeng. Bukit itu terlihat jika kita berjalan menurun dari pos 7 menuju pos 8, seperti gunungan ice cream yang sudah digigit. Akibat longsor, pos 8 lama yang berbentuk padang luas dengan ilalangnya harus berganti dengan pos 8 baru yang gersang, dekat telaga Bidadari yang kering kerontang, hanya menyisakan air yang cokelat dan kotor.
Longsor itu juga menimbun kampung-kampung kecil di lereng Bawakaraeng, tanpa sisa. Lumpur bawahannya malah sempat membuat khawatir sebagian orang karena dianggap tekanannya akan merobohkan bendungan bili-bili, tapi syukurlah, hal tersebut tidak menjadi kenyataan.
Ritual Di Bawakaraeng
Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka datang sehari sebelum hari raya dan bermalam di puncak dengan bekal dan pakaian seadanya.
Esok subuh, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual. Mereka memberikan sesajian-sesajian untuk mencari berkah dan keselamatan: gula merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa warga ke puncak Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah oleh Tata Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng. Tata Rasyid menegaskan, “Yang benar itu warga naik ke puncak untuk lebaran haji, bukan naik haji. Naik haji itu di Mekkah.”
Beberapa keindahan Gunung Bawakaraeng:
Demikianlah teman-teman pembaca, beberapa cerita tentang gunung Bawakaraeng. Bagi yang belum puas, silahkan mendaki sendiri sampai ke puncaknya. Dari Makassar, naik mobil angkot warna merah jurusan Sungguminasa, bayar Rp 3.000. Turun di terminal Sungguminasa, naik angkot jurusan Malino, bayar Rp 25.000, dijamin diantar sampai ke kampung Lembanna. Di Lembanna, jalan kaki sampai ke puncak gunung.
“Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya,”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan